Keharusan Berobat Tidak Bertentangan Dengan Sifat Tawakal

Aku berkata: "Ya Rosululloh, apakah tangkal yang kita pakai atau obat yang kita gunakan itu dapat menolak ketentuan Allah? Rosululloh menjawab: "Itupun termasuk ketentuan Allah!"

Hadist di atas dengan jelas menolak anggapan orang-orang yang mengingkari pentingnya pengobatan. Mereka beranggapan bahwa, jika kesembuhan itu telah ditakdirkan, maka buat apa berobat; dan jika tidak, maka lebih-lebih lagi. Dan juga mereka menganggap bahwa penyakit itu menimpa seseorang karena takdir Allah, sedang takdir Allah tidak dapat ditolak atau dicegah. Juga mereka percaya bahwa meninggalkan pengobatan itu lebih mendekati pada kuatnya tawakkal.

Sebenarnya berobat dari penyakit itu sama sekali tidak bertentangan dengan sifat tawakkal, bahkan hal itu menunjukan kesempurnaan sifat tawakkal. Orang yang tidak mau beronat itulah yang lemah tawakkalnya. Hal ini telah disinggung oleh Hujjatul Islam di dalam kitabnya AL-ARBA'IIN sebagai berikut:

"Hakikat tawakkal yang sebenarnya itu adalah perwujudan (Manifestasi) yang timbul dari tauhid yang murni dan tampak bekas-bekasnya pada anggota badan dengan amal perbuatan."

Dan beliau melanjutkan:

وَقَدْيَظُنُّ الْجِهَالُ اَنَّ شَرْطَ التَّوَكُّلِ تَرْكُالْكَسْبِ وَتَرْكَ التَّدَاوَى وَتَرْكَالدُّعَاءِ. وَذٰلِكَ خَطَأٌ

وَجَهْلٌ ٌبِمَوَاقِعِ الشَّرْعِى. اِلَانَّذٰلِك هُوَ اِسْتِسْلَامُ لِلْمُهْلِكَاتِ وَالْإِلْقَاءُ بِالْيَدِ اِلَى الْهَلَكَاتِ

حَرَامٌ، جَاءَفِى نَصِّهِ الْكِتَابِ الْعَزِيْزِوَسُنَّةِرَسُوْلِاللهِ اَلنَّهْىُ عَنْهُ. وَقَدْوَرَدَتَرْكُ التَّدَاوٰى لَيْسَ

مِنَالتَّوَكَلِ

"Orang-orang bodoh mengira bahwa syarat tawakal itu adalah dengan meninggalkan usaha, berobat, dan berdoa! Hal itu sungguh sangat keliru dan menunjukan kejahilan akan tujuan syariat. Sebab itu berarti menyerah pada kebinasaan, sedangkan menjerumuskan diri pada kebinasaan itu hukumnya haram, sebagaimana yang terdapat nashnya di dalam kitab Al-Quran dan sunah Rosul. Dan telah diwartakan bahwa meninggalkan berobat itu tidak termasuk tawakal."

Dan di dalam IHYA' disebutkan:

قِيْلَ لِاَحْمَدْ بِنْ حَنْبَلْ : مَاتَقُوْلُ فِى الَّذِىْ يَجْلِسُ فِى بَيْتِهِ اَوْمَسْجِدِهِ وَيَقُوْلُ: لَاأَعْمَلُ شََيْئًا

حَتَّى يَأْتِنِىْ رِزْقِىْ ! فَقَالَ اَحْمَدْ : هٰذَاالرَّجَلُ قَدْجَهِلَ الْعِلْمَ، اَمَّاسَمِعَ قَوْلَ النََّبِىِّ صَلَّى اللهُ

عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : اِنَّ اللهَ تَعَالٰى جَعَلَ رِزْقِىْ تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِىْ

Dikatakan kepada Ahmad bin Hambal: "Bagaimana pendapat Tuan tentang orang yang hanya duduk di rumahnya atau di masjid seraya mengatakan: 'Saya tidak akan mengerjakan apa-apa sampai rejekiku datang!' Ahmad menjawab: "Orang itu tidak mengerti ilmu, tidakkah ia mengetahui bahwa Rosululloh Saw. sendiri mengatakan: 'Sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan rejekiku di bawah naungan tombakku?!'"

Ini menunjukan pentingnya ikhtiar.

Dan disebutkan bahwa nabi Ibrahim As. berkata:

"Wahai Tuhanku, dari siapakah penyakit itu?" Allah menjawab: "Dari Aku!" Tanya: "Dan dari siapakah obat itu?" Jawab: "Dari Aku!" Tanya: "Kalau begitu apa fungsi tabib (dokter) itu?" Jawab: "Ia berfungsi sebagai penyalur obat dari-Ku."

Dalam sabda Rosululloh Saw. yang artinya: "Bagi setiap penyakit ada obatnya!" terkandung suatu pengaruh yang memberikan kekuatan bagi si sakit dan tabib, dan hadits ini juga menganjurkan agar menyelidiki serta mencari obat tersebut. Jika si sakit merasa yakin bahwa penyakit itu ada obat yang dapat menyembuhkannya, maka akan timbul dalam hatinya suatu pengharapan, yang dapat membantu proses penyembuhannya. Demikian pula bagi si tabib, bila ia yakin bahwa tiap-tiap penyakit ada obatnya, tentu ia akan berusaha menemukan obat tersebut.

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa, berobat itu sama sekali tidak bertentangan dengan sifat tawakal, bahkan ia termasuk bagian dari tawakal itu sendiri. Sebab makna tawakal itu ialah, menyerahkan akhir segala urusan kepada Allah setelah mengusahakannya.